Ekonomi
moneter merupakan salah satu instrumen penting dalam perekonomian modern, dalam
perekonomian modern terdapat dua kebijakan perekonomian yang dijadikan
instrumrn oleh pemerintah dalam menstabilkan perekonomian suatu negara, yang
pertama ialah kebijakan Fiskal yakni kebijakan yang diambil pemerintah untuk
membelanjakan pendapatannya dalam merealisasi tujuan-tujuan ekonomi.
Sejak
zaman Rasullah SAW dan Khulafaur Rasyidin kebijakan moneter dilaksanakan tanpa
menggunakan instrumen bunga sama sekali. Perekonomian Jazirah Arabia ketika itu
ialah perekonomian dagang, bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam, minyak
bumi belum ditemukan dan sumber daya alam lainnya terbatas.
Perekonomian
Arab di zaman Rasulullah SAW bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal
barter, bahkan jauh dari gambaran seperti itu. Valuta asing dari Persia dan
Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab. Dinar dan Dirham juga
dijadikan alat pembayaran resmi. Sistem devisa bebas diterapkan, tidak ada
halangan sedikit pun untuk mengimpor dinar dan dirham.
Transaksi
tidak tunasi diterima luas dikalangan pedagang. Cek dan promissory notes lazim digunakan, misalnya Umar Ibmu-Khaththab ra ,
beliau menggunakan instrumen ini untuk mempercepat distribusi barang-barang
yang baru diimpor dari Mesir ke Madinah.
Sektor
moneter merupakan jaringan yang penting dan mempengaruhi sektor ekonomi rill.
Kebijakan moneter merupakan instrumen penting kebijakan publik dalam sistem
ekonomi, baik moderen maupun Islam. Syarat tercapai dan terjamin berfungsinya
sistem moneter secara baik adalah otoritas moneter harus melakukan pengawasan
kepada keseluruhan sistem.
Kebijakan
Moneter sendiri memiliki definisi yaitu kebijakan pemerintah untuk memperbaiki
keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar. Kebijakan moneter
dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy) dan
Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary
contractive policy).
Baru-baru
ini, pada Juni 2018, Kompas.com melaporkan bahwa Bank Indonesia diperkirakan
akan memperketat kebijakan moneternya, seiring dengan kemungkinan pelebaran
defisit transaksi berjalan tahun ini di kisaran 2,2 sampai 2,3 persen terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB).
Pengetatan
kebijakan moneter disebut jadi langkah prioritas BI selain stabilisasi nilai
tukar rupiah untuk jangka pendek. Joshua—Presiden Ekonomi PT. Bank Permata
mengatakan bahwa BI diperkirakan akan memperketat kebijakan moneternya
mempertimbangkan pelebaran defisit transaksi berjalan pada tahun 2018 ke level
2,2 sampai 2,3 persen terhadap PDB, terindikasi dari perkembangan neraca
perdagangan. Badan Pusat Statistik (BPS) melalui rilis Berita Resmi Statistik menyebut
defisit neraca perdagangan dari Januari hingga Mei 2018 sebesar 2,83 miliar
dollar AS.
Sejak
awal tahun, neraca perdagangan mencatat surplus hanya pada bulan Maret, sebesar
1,09 miliar dollar AS, dan selebihnya mengalami defisit.
Maka
BI perlu memperketat kebijakan moneternya juga dalam rangka menjaga stabilitas
makroekonomi untuk jangka pendek. Jika stabilitas makroekonomi terjaga,
harapannya dapat menahan dana asing keluar dari pasar keuangan domestik.
Secara
tahun kalender, investor asing membukukan penjualan bersih sebesar 3,8 miliar
dollar AS baik di pasar saham dan pasar obligasi. Adapun selain memperketat
kebijakan moneter, Josua menilai BI juga akan mengoptimalkan bauran kebijakan dengan
melonggarkan kebijakan makroprudensial. Dengan begitu, permintaan kredit
perbankan, khususnya kredit konsumsi, bisa lebih didorong.
Komentar
Posting Komentar